Kamis, 26 Desember 2013

Ritual Adat Tuturangiana Andala

  • Tetua adat pulau makasar sedang melarungkan Kabitingia

Menghargai Mahluk Gaib Penghuni Laut, Kabintingia di Empat Titik Keramat Laut


RITUAL adat Tuturinganan andala sudah sering dilakukan sejak abad 18 Masehi oleh warga Pulau Liwuto atau lazim disebut Pulau Makasar. Ritual yang dilakukan berupa melarungkan sesaji (Kabitingia), sebagai bentuk penghargaan untuk menghargai keberadaan mahluk gaib penghuni lautan yang dilakukan di empat titik keramat di perairan sekitar Pulau Makasar.


DI MATA orang Buton, ritual Tuturangiana Andala adalah sebagai bentuk rasa saling menghargai antara ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Menghargai keberadaan makhluk gaib (jin) yang diyakini bermukim di sekitar pemukiman masyarakat.

Ritual adat Tuturangiana Andala, bukanlah implementasi dari penyembahan (sujud) kepada makhluk lain (Jin). Sebab hanya Allah SWT satu-satunya yang pantas disembah.

Kabintingia adalah wadah yang terbuat dari bambu yang menyerupai rakit namun berukuran kecil, kira-kira berukuran segi empat 30 x 20 cm. Rakit-rakit kecil ini terdiri dari empat buah, masing-masing dipasangi bendera kecil berwarna merah, setiap satu kabintingia dipasangi empat bendera di empat sudutnya.

Kabintingia dirangkai pada lima batang bambu sebagai alasnya yang disesuaikan dengan ukuran kabintingia. Lima batang bambu itu sekaligus sebagai penopang sehingga kabitingia  mengapung di permukaan laut. Di tengah-tengah kabintingia, diletakkan sebuah kelapa muda yang telah diiris bagian atas dan bawahnya. Maka kalau digambarkan, kelapa tersebut diletakkan mirip seperti teko yang memiliki penutup.

Diyakini ada proses interaksi dengan makhluk gaib yang bermukim di lautan. Ritual ini adalah bentuk komunikasi untuk menjaga saling toleransi dengan makhluk lainnya, makhluk gaib.

"Ini proses saling menghargai antara manusia dan keberadaan alam gaib yang mendiami laut. Di mana warga Pulau Makasar melakukan aktivitas melaut sebagai nelayan," ungkap salah seorang tokoh adat La Ari Warga Lingkungan Baana Bungi, Kelurahan Sukanaeo.

Empat kabintingia akan diletakkan di empat titik keramat. Yakni Maya Poukoti, Taju Malanga, Latonda Kau, dan Yiaena Rape. Empat tokoh adat berjubah adat Buton sedang duduk di empat kabintingia di tepi pantai di Sukanaeo, Pulau Makasar, Sabtu 21 Desember 2013.

Mereka menunggu kedatangan Walikota Baubau, AS Tamrin. Pukul 10.30 Wita bertepatan kedatangan AS Tamrin, ritual adat pun dimulai. Keempat pria tua itu turun dari bukit, diikuti 36 tokoh adat yang juga mengenakan jubah bergaris tegak dan mengenakan kampurui (sorban). Ada yang berwarna coklat, biru, hitam, dsb.

Atraksi penyambutan Walikota ditandai dengan menggelar tari mangaru, dilakonkan oleh dua pria memegang keris, saling  berhadap-hadapan beradu ketangkasan. Usai diterima dengan aktraksi tari mangaru, As Tamrin dipakaikan jubah adat Buton yang dilakukan oleh ketua adat ritual Taturangiana Andala.

Tak lama berselang, usai Walikota duduk diposisi yang telah disediakan. Di atas jembatan Sukanaeo, keempat kabintingia diletakkan  di sisi kiri walikota Baubau, AS Tamrin. Beberapa menit kemudian ritual pengambilan darah kambing jantan sebagai syarat. Darah kambing pun dituang kedalam empat wadah terbuat dari potongan bambu sebagai gelas dan disiatukan dalam kabitngia.

Sebelum Kabitingia dilarung diempat empat lokasi keramat dengan menggunakan dua sampan. Ketua tokoh adat duduk dihadapan Kabitingia melakukan Batata atau rapalan khusus dengan menggunakan bahasa daerah (Wolio) diselingi dengan bacaan alquran yang diyakini ampuh memuluskan niat atau keinginan dalam kegiatan tersebut.   

"Meminta kepada Yang Maha Kuasa, agar dibukakan jalan kebaikan untuk masyarakatnya, diberi rezeki yang melimpah, dijauhkan dari marabahaya saat melaut. Intinya untuk kebaikan," ujar La Ari yang juga iman di Masjid Al Haq.

Usai melakukan Batata dengan memuji kebesaranNya untuk dibukakan pintu-pintu rezeki dan dijauhkan dari segala marahbahaya disaat masyarakat pulau makasar melakukan aktifitas sebagai nelayan. Empat usai di bacakan ritual kabitingia yang telah diisi sebelumnya oleh beberapa panganan adat wolio sebagai salah satu syarat ritual. Berupa, pisang, pisang goreng,kue bolu, onde-onde, lapa-lapa, telur rebus, ubi goreng, cucur, daun siri dan sebatang rokok siap digiring lokasi yang dikeramatkan.

Langit yang tadinya biru berubah menjadi gelap dan air hujan pun turun mengiringi dua buah perahu yang mengangkut beberapa tokoh adat dalam mengantar  Kabitingia ke lokasi keramat. Dua kilometer dari Pelabuhan Sokanaeo, perahu pertama tiba di lokasi keramat pertama, yakni Maya Poukoti. Kabitingia pun dilarung pelan-pelan pegang oleh dua tokoh adat. Usai itu dilanjutkan ke dua lokasi keramat berikutnya, sementara perahu yang kedua menuju Yiaena Rape yang ditunjuk sebagai lokasi keramat ke empat.              
           
"Sejak turum temurun kami telah melakukan ritual ini.  Biasanya seminggu seusai melakukan ritual hasil nelayan akan melimpah dan didalam beraktifitas dilaut tidak ada musibah. Di dalam kehidupan ini bukan hanya manusia yang hidup namun disekeliling kita ada makhluk gaib. Menghargai keberadaannya sebagai bentuk toleransi antara sesama ciptaanNya. Orang Buton itu Ko adati (beradab)," lanjutnya.

Bagi pemahaman masyarakat yang mendiami pulau Makasar kegiatan ritual adat Tuturangiana Andala hanya dilakukan oleh beberapa keluarga yang berkecukupan yang memiliki jiwa sosial yang tinggi dimasyarakat setempat. Dimana disaat itu kondisi masyarakat dalam melakukan aktifitas melaut sebagai nelayan tidak mendapatkan hasil penangkapan yang melimpah tepatnya dimasa paceklik dan sering terjadi musibah.  .