Senin, 06 Januari 2014

Ingin Nikmati Masakan Parende Ikan, Ayo ke Paseba


RUMAH makan bercitarasa khas Buton yang menghadirkan masakan parende dengan berbahan baku ikan kakap, kini tidak sulit ditemukan di kota pemilik benteng terluas di dunia, Kota Khalifatulkhamis, kota bersimbolkan nenas dan naga. Paseba, nama rumah makan dibilangan jalan Waode Wau, juga menyajikan makanan parende khas Buton itu

Yanti (21) mahasiswa sastra Inggris Universitas Dayanu ikhsanuddin Baubau bersama temannya Isra (20), warga Burasatongka, Kelurahan Wajo yang duduk di meja 08 terlihat lahap menikmati hindangan parende sajian rumah makan Pak Hasan. Rasa kuahnya yang rada-rada asin ditambah cabai merah kecil, membuat Yanti dan Isra melahap habis parende yang dipesannya.

Kulit wajah Yanti yang putih usai menyantap parende, mulai dibasahi keringat. Yanti pun tersenyum simpul dengan bola matanya mengarah kearah saya yang sedang mengabadikan gambarnya, "Saya sudah sering makan disini dan andalan saya memang masakan parende," katanya, sambil tersenyum.

Rupanya, siang itu bukan hanya kedua gadis muda itu yang datang ke rumah makan paseba, masih ada sembilan meja lainnya juga terisi penuh dan dipastikan salah satu pesanannya adalah parande berbahan baku ikan kakap.

Memang, rumah makan paseba terbilang unik. Sebab dari namanya saja bagi orang Buton maknanya berarti duduk bersila. Faktanya, memang rumah makan dengan luas kira-kira 5 x 15 meter itu didesign tanpa kursi dan tamu yang datang langsung duduk bersila dengan meja ceper yang tingginya kurang lebih sejengkal tangan orang dewasa.

Dindinnya pun terbuat dari anyaman bambu (jelajah-red) yang sudah difernis rapi. Begitu juga dengan atapnya terbuat dari anyaman daun nipa. Bila berada dalam rumah makan itu, tak perlu takut kepanasan. Sebab biarpun tak ada air conditioner (AC) seperti rumah makan modern lainnya, namun udaranya bisa bersirkulasi dengan baik berkat celah-celah dinding jelajah. "Keringat yang keluar membuat segar karena ada tiupan angin yang keluar-masuk melalui dinding jelajah," kata Isra. Namun begitu di langit-langitnya masih tergantung beberapa kipas angin gantung sebagai cadangan saja.

Pelayan rumah makan itu mayoritas wanita berjilbab. Semuanya terlihat masih berusia muda. Para pelayan itu mengenakan pakaian hitam-hitam dan dipunggungnya bertuliskan 'Rumah Makan Paseba'. Butuh kesabaran ketika masuk di rumah makan milik Pak Hasan itu, sebab ikan parende yang disajikan harus dalam kondisi panas. Itu artinya  masakan parende harus selalu dalam keadaan segar dan gurih. Kami pun harus sabar menunggu selama 10 menit lamanya sampai sang pelayan mengantarkan pesanan parende.

Ada juga suasan lain di rumah makan itu. Kelompok pemuda yang datang berkunjung selain memesan makanan juga asik berdiskusi. Waktu pun tidak menjadi perhitungan untung-rugi bagi mereka.

Menu parende kami segera tiba, seorang gadis berkulit putih memakai jilbab hitam membawa dua piring berwarna putih berisi nasi yang telah dibentuk seperti mangkuk terbalik dan sebuah wadah dari plastik putih seperti kotak kecil berpetak dua, satu petaknya diisi dengan potongan jeruk dan petak satunya diisi beberapa cabai kecil berwarna merah.Tidaklama kemudian, pelayanan yang sama membawa dua  mangkuk parende panas dan menaruhnya dihadapan kami.
Ibu Nur, yang tidak lain adalah istri Pak Hasan bertugas mengendalikan  kasir mengatakan rumah makan miliknya tidak selamanya kebanjiran pengunjung. "Kami bekerja tanpa libur. Kami libur hanya pada hari lebaran<" ucapnya. 

Dia pun mengaku ada beberapa pejabat daerah maupun nasional pernah mencicipi parende masakannya. La Ode Ida contoh tokoh nasional dan Umar Samiun contoh tokoh lokal yang pernah makan di rumah makan paseba.

Ibu Nur berdarah Tomia mengungkapkan rata-rata dalam seharinya menghabis dua hingga tiga ekor ikan kakap berukuran besar. Ada juga makanan khas Buton lainnya yang disajikan seperti kapusu nosu yang bahan bakunya terbuat dari jagung yang sudah digiling dan dicampur dengan kacang merah yang sudah diberi santan kelapa. "Namun yang jenis ini kurang peminat," kata Ibu Nur.

Sama dengan rumah makan modrn lainnya, rumah makan paseba juga menyediakan cumi masak tiram, cumi goreng saos tiram.ayam kampung, bakar goreng, dan kangkung cha sayur bening. Bila berkunjung ke rumah makan Paseba dijamin bakal ketagihan. (***)




Sepenggal Kisah Pengrajin Polukariti

Sepenggal Kisah Pengrajin Polukariti

CAHAYA mentari di pagi itu belum lama menampakkan wajahnya dari ufuk timur Kota Baubau. Pria paruh baya bergegas menyiapkan gurinda listrik dan perkakas lainnya untuk memoles sebuah periuk yang terbuat dari kuningan (polukariti) menjadi mengkilap. Dia adalah Baari Ompu (74) warga Lingkungan Busowa, Kelurahan Lamangga, Kecamatan Betoambari.

Baari, begitu orang-orang di lingkungannya disapa. Kakek bercucu 40 orang itu mengaku generasi ke empat dari keluarganya yang masih menggeluti pengrajin perabot polukariti, salah satu perabot rumah tangga di zaman kerajaan Buton sejak abad ke 13 M.

Polukariti hanya salah satu dari sekian banyak kerajinan perabot rumah tangga yang menjadi ciri khas Buton. Kini penggiat yang ulet dan gigih mempertahankan pembuatannya tidak banyak lagi ditemukan, hanya tinggal hitungan jari saja orang yang masih bertahan.

Didalam sebuah bangunan permanen persegi panjang berukuran 5x 10 meter itu yang berdempetan dengan rumahnya, Baari Ompu memulai aktifitasnya sehari-hari, membuat polukariti dan berbagai perabot lainnya.

Sebuah polukariti setengah jadi siap ia dudukan di atas balok kayu yang dirancang khusus. Gurinda listrik dengan mata bergerigi di gengamannya siap mengikis sisa-sisa residu kuningan yang tidak rapi hasil cetakan. Bunyi gesekan antara mata gurinda dan polukariti yang terbuat dari kuningan itu pun melengking memekakan telinga, namun bagi pria yang berkulit sawo dan berambut putih itu seperti tidak mendengar apa-apa.

Ia tetap berkonsentrasi mengamati setiap detail ukirannya. Mengamati setiap jilatan mata gurinda mengenai sisi luar polukariti."Saya sudah terbiasa, dan tidak apa-apa," ujarnya. sejenak mematikan gurindanya dan kemudian melanjutkan lagi tugasnya.

Pekerjaan itu digelutinya serius sejak 30 tahun lalu. Sempat mencicipi kursus selama sebulan di jawa yang saat itu diajak oleh kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja Sultra ditahun 1984, namun selebihnya belajar secara otodidak dari orang tuanya yang juga spesialis membuat berbagai perabot rumah tangga dari kuningan. 

Dia tahu persis memperlakukan logam kuningan yang awalnya dimasak hingga lebur yang kemudian dicetak dalam beberapa wadah terbuat dari alumunium dengan model setengah bola untuk polukariti dan beberapa cetakan lainnya, seperti cetakan untuk membuat perabot khas Buton lainnya, tawa-tawa, tala, tala-tala, Ndei-ndei, padamara, toba, baana katuko, matana katuko, kapera, kabitingia bahkan cetakan baling-baling kapal yang masih tergantung di dinding tembok bercat putih itu.

Setelah melalui tahapan mencetak, selanjutnya menghaluskannya dengan menggunakan mesin gurinda listrik. Proses pengerjaan cukup singkat. Jika membuat polukariti bisa 20 buah tercipta dalam seminggu dengan alat modern. Satu polukariti yang di hadapannya sudah selesai diamplas. Tampak terlihat masih belum begitu halus karena masih ada proses pengamplasan yang lebih halus. 

Dia menceritakan, dahulu proses pengerjaan polukariti ini memakan waktu cukup lama. Karena masih menggunakan cara tradsional. Satu buah polukariti dalam seminggu hanya tiga sampai empat saja yang jadi. Saat itu, cetakan terbuat dari almunium belum diketahui. Orang tua dulu menggunakan lilin dari sangkar lebah sebagai cetakan yang kini sulit ditemukan lagi.

Logam kuningan yang dimasak menggunakan wadah seperti ember berbahan baja. Disimpan di tengah bara api ditiup melalui pipa besi yang di tempatkan di bawah bara api. Pompanya terbuat dari batang pohon pinang, dilubangi, dimana sisi dalamnya berbentuk silinder. Katup silinder terbuat dari kaleng berbentuk tabung dibungkus kain dimana bagian tengahnya ditancapkan kayu sebagai pegangan.

Lalu, pegangan kayu itu dikayuh turun naik menggunakan tangan manusia. Biasanya ada dua buah pompa yang berdiameter kurang lebih 40 centimeter. Dari situ udara dipompa dan dialirkan ke pipa secara terus menerus hingga meleburkan kuningan, pekrjaan itu memakan waktu satu hari. Sementara untuk menghaluskan sisi luar maupun dalam polukariti dibutuhkan alat yang disebut kalaria yang terbuat dari kayu. 

"Itu cara lama. Untuk meleburkan batangan kuningan sekarang menggunakan kompor gas berbahan bakar minyak tanah. Waktunya paling hanya tiga jam untuk meleburkan 20 kilogram kuningan," jelasnya.

Baari mengaku sedang mengerjakan polikariti yang di order dari Maluku Ambon dan Ternate, masing-masing 20 buah polukariti. Sementara di dalam rumahnya dua buah tala sudah selesai dibuat dan tinggal menunggu orang yang memesan mengambilnya. Dia juga menyebut semua kuningan yang terdapat di kedua ujung tongkat perangkat masjid Agung Keraton Buton adalah hasil dari buah tangannya.

Dahulu di mata masyarakat Buton, wilayah Lamangga adalah pabrik pembuatan perabot rumah tangga dari bahan baku kuningan. Di wilayah itu sebagian besar warganya di fokuskan sebagai pengrajin kuningan.

Bahkan semua peralatan dapur dan perabot rumah tangga bangsawaan kerajaan dan kesultanan Buton yang terbuat dari kuningan diproduksi di wilayah itu. Kini, zaman telah berubah drastis. Banyak dari mereka beralih profesi hingga generasi penerus spesialis pembuat perabot dari kuningan secara turun temurum itu semakin sedikit.   

Sejak 30 tahun lalu, Baari Ompu sebenarnya mendambakan ada apresiasi dari pemerintah, berupa modal sehingga lebih dapat mengembangkan kreatifitasnya dalam menjaga agar khazana membuat kerajinan khas Buton yang telah turun temurun digelutinya itu bisa berkembang dengan baik. Namun kekurangan modal menjadi salah satu hambatannya. 

Ia mengungkapkan, sebelumnya pihak Pemkot Baubau berjanji akan memberikan bantuan modal Rp 50 juta, "Namun itu hanya buaian," ucapnya.  Dana itu turun dan sampai ditangan Baari sebanyak lima juta saja. Ia pun enggan menerima uang itu."Saya dijanji uang 50 juta, tapi yang datang 5 juta, jadi saya menolak saja," ungkapnya.

Saat ini, bahan baku berupa kuningan beberapa kilogram disuplay dari Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton karena masih terbilang murah dan sisanya didapatkan dipasar Kota Baubau. Sekilo kuningan seharga 50 ribu. Untuk membentuk sebuah polukariti dibutuhkan 4 kilogram. Jika ingin membuat 20 polukariti ia harus mengeluarkan uang sebesar 4 juta. Satu polukariti dihargai 280 ribu. Pengasilan membuat berbagai jenis kuningan itulah yang dapat menopang dan menghidupi ekonomi istri dan kesembilan anaknya.

Semestinya pemerintah melihat dari para pengrajin kuningan itu bukan hanya dinilai dari sisi ekonominya, mereka adalah pelestari khazana budaya Buton masa lampau. Pantaslah diberikan apresisasi sehingga polukariti dan berbagai sejenis perabot rumah tangga di zaman kerajaan dan kesultanan Buton  tetap meniupkan sejarah didalam kehidupan masyarakat Buton. (***)

Kamis, 26 Desember 2013

Ritual Adat Tuturangiana Andala

  • Tetua adat pulau makasar sedang melarungkan Kabitingia

Menghargai Mahluk Gaib Penghuni Laut, Kabintingia di Empat Titik Keramat Laut


RITUAL adat Tuturinganan andala sudah sering dilakukan sejak abad 18 Masehi oleh warga Pulau Liwuto atau lazim disebut Pulau Makasar. Ritual yang dilakukan berupa melarungkan sesaji (Kabitingia), sebagai bentuk penghargaan untuk menghargai keberadaan mahluk gaib penghuni lautan yang dilakukan di empat titik keramat di perairan sekitar Pulau Makasar.


DI MATA orang Buton, ritual Tuturangiana Andala adalah sebagai bentuk rasa saling menghargai antara ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Menghargai keberadaan makhluk gaib (jin) yang diyakini bermukim di sekitar pemukiman masyarakat.

Ritual adat Tuturangiana Andala, bukanlah implementasi dari penyembahan (sujud) kepada makhluk lain (Jin). Sebab hanya Allah SWT satu-satunya yang pantas disembah.

Kabintingia adalah wadah yang terbuat dari bambu yang menyerupai rakit namun berukuran kecil, kira-kira berukuran segi empat 30 x 20 cm. Rakit-rakit kecil ini terdiri dari empat buah, masing-masing dipasangi bendera kecil berwarna merah, setiap satu kabintingia dipasangi empat bendera di empat sudutnya.

Kabintingia dirangkai pada lima batang bambu sebagai alasnya yang disesuaikan dengan ukuran kabintingia. Lima batang bambu itu sekaligus sebagai penopang sehingga kabitingia  mengapung di permukaan laut. Di tengah-tengah kabintingia, diletakkan sebuah kelapa muda yang telah diiris bagian atas dan bawahnya. Maka kalau digambarkan, kelapa tersebut diletakkan mirip seperti teko yang memiliki penutup.

Diyakini ada proses interaksi dengan makhluk gaib yang bermukim di lautan. Ritual ini adalah bentuk komunikasi untuk menjaga saling toleransi dengan makhluk lainnya, makhluk gaib.

"Ini proses saling menghargai antara manusia dan keberadaan alam gaib yang mendiami laut. Di mana warga Pulau Makasar melakukan aktivitas melaut sebagai nelayan," ungkap salah seorang tokoh adat La Ari Warga Lingkungan Baana Bungi, Kelurahan Sukanaeo.

Empat kabintingia akan diletakkan di empat titik keramat. Yakni Maya Poukoti, Taju Malanga, Latonda Kau, dan Yiaena Rape. Empat tokoh adat berjubah adat Buton sedang duduk di empat kabintingia di tepi pantai di Sukanaeo, Pulau Makasar, Sabtu 21 Desember 2013.

Mereka menunggu kedatangan Walikota Baubau, AS Tamrin. Pukul 10.30 Wita bertepatan kedatangan AS Tamrin, ritual adat pun dimulai. Keempat pria tua itu turun dari bukit, diikuti 36 tokoh adat yang juga mengenakan jubah bergaris tegak dan mengenakan kampurui (sorban). Ada yang berwarna coklat, biru, hitam, dsb.

Atraksi penyambutan Walikota ditandai dengan menggelar tari mangaru, dilakonkan oleh dua pria memegang keris, saling  berhadap-hadapan beradu ketangkasan. Usai diterima dengan aktraksi tari mangaru, As Tamrin dipakaikan jubah adat Buton yang dilakukan oleh ketua adat ritual Taturangiana Andala.

Tak lama berselang, usai Walikota duduk diposisi yang telah disediakan. Di atas jembatan Sukanaeo, keempat kabintingia diletakkan  di sisi kiri walikota Baubau, AS Tamrin. Beberapa menit kemudian ritual pengambilan darah kambing jantan sebagai syarat. Darah kambing pun dituang kedalam empat wadah terbuat dari potongan bambu sebagai gelas dan disiatukan dalam kabitngia.

Sebelum Kabitingia dilarung diempat empat lokasi keramat dengan menggunakan dua sampan. Ketua tokoh adat duduk dihadapan Kabitingia melakukan Batata atau rapalan khusus dengan menggunakan bahasa daerah (Wolio) diselingi dengan bacaan alquran yang diyakini ampuh memuluskan niat atau keinginan dalam kegiatan tersebut.   

"Meminta kepada Yang Maha Kuasa, agar dibukakan jalan kebaikan untuk masyarakatnya, diberi rezeki yang melimpah, dijauhkan dari marabahaya saat melaut. Intinya untuk kebaikan," ujar La Ari yang juga iman di Masjid Al Haq.

Usai melakukan Batata dengan memuji kebesaranNya untuk dibukakan pintu-pintu rezeki dan dijauhkan dari segala marahbahaya disaat masyarakat pulau makasar melakukan aktifitas sebagai nelayan. Empat usai di bacakan ritual kabitingia yang telah diisi sebelumnya oleh beberapa panganan adat wolio sebagai salah satu syarat ritual. Berupa, pisang, pisang goreng,kue bolu, onde-onde, lapa-lapa, telur rebus, ubi goreng, cucur, daun siri dan sebatang rokok siap digiring lokasi yang dikeramatkan.

Langit yang tadinya biru berubah menjadi gelap dan air hujan pun turun mengiringi dua buah perahu yang mengangkut beberapa tokoh adat dalam mengantar  Kabitingia ke lokasi keramat. Dua kilometer dari Pelabuhan Sokanaeo, perahu pertama tiba di lokasi keramat pertama, yakni Maya Poukoti. Kabitingia pun dilarung pelan-pelan pegang oleh dua tokoh adat. Usai itu dilanjutkan ke dua lokasi keramat berikutnya, sementara perahu yang kedua menuju Yiaena Rape yang ditunjuk sebagai lokasi keramat ke empat.              
           
"Sejak turum temurun kami telah melakukan ritual ini.  Biasanya seminggu seusai melakukan ritual hasil nelayan akan melimpah dan didalam beraktifitas dilaut tidak ada musibah. Di dalam kehidupan ini bukan hanya manusia yang hidup namun disekeliling kita ada makhluk gaib. Menghargai keberadaannya sebagai bentuk toleransi antara sesama ciptaanNya. Orang Buton itu Ko adati (beradab)," lanjutnya.

Bagi pemahaman masyarakat yang mendiami pulau Makasar kegiatan ritual adat Tuturangiana Andala hanya dilakukan oleh beberapa keluarga yang berkecukupan yang memiliki jiwa sosial yang tinggi dimasyarakat setempat. Dimana disaat itu kondisi masyarakat dalam melakukan aktifitas melaut sebagai nelayan tidak mendapatkan hasil penangkapan yang melimpah tepatnya dimasa paceklik dan sering terjadi musibah.  .