Senin, 06 Januari 2014

Sepenggal Kisah Pengrajin Polukariti

Sepenggal Kisah Pengrajin Polukariti

CAHAYA mentari di pagi itu belum lama menampakkan wajahnya dari ufuk timur Kota Baubau. Pria paruh baya bergegas menyiapkan gurinda listrik dan perkakas lainnya untuk memoles sebuah periuk yang terbuat dari kuningan (polukariti) menjadi mengkilap. Dia adalah Baari Ompu (74) warga Lingkungan Busowa, Kelurahan Lamangga, Kecamatan Betoambari.

Baari, begitu orang-orang di lingkungannya disapa. Kakek bercucu 40 orang itu mengaku generasi ke empat dari keluarganya yang masih menggeluti pengrajin perabot polukariti, salah satu perabot rumah tangga di zaman kerajaan Buton sejak abad ke 13 M.

Polukariti hanya salah satu dari sekian banyak kerajinan perabot rumah tangga yang menjadi ciri khas Buton. Kini penggiat yang ulet dan gigih mempertahankan pembuatannya tidak banyak lagi ditemukan, hanya tinggal hitungan jari saja orang yang masih bertahan.

Didalam sebuah bangunan permanen persegi panjang berukuran 5x 10 meter itu yang berdempetan dengan rumahnya, Baari Ompu memulai aktifitasnya sehari-hari, membuat polukariti dan berbagai perabot lainnya.

Sebuah polukariti setengah jadi siap ia dudukan di atas balok kayu yang dirancang khusus. Gurinda listrik dengan mata bergerigi di gengamannya siap mengikis sisa-sisa residu kuningan yang tidak rapi hasil cetakan. Bunyi gesekan antara mata gurinda dan polukariti yang terbuat dari kuningan itu pun melengking memekakan telinga, namun bagi pria yang berkulit sawo dan berambut putih itu seperti tidak mendengar apa-apa.

Ia tetap berkonsentrasi mengamati setiap detail ukirannya. Mengamati setiap jilatan mata gurinda mengenai sisi luar polukariti."Saya sudah terbiasa, dan tidak apa-apa," ujarnya. sejenak mematikan gurindanya dan kemudian melanjutkan lagi tugasnya.

Pekerjaan itu digelutinya serius sejak 30 tahun lalu. Sempat mencicipi kursus selama sebulan di jawa yang saat itu diajak oleh kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja Sultra ditahun 1984, namun selebihnya belajar secara otodidak dari orang tuanya yang juga spesialis membuat berbagai perabot rumah tangga dari kuningan. 

Dia tahu persis memperlakukan logam kuningan yang awalnya dimasak hingga lebur yang kemudian dicetak dalam beberapa wadah terbuat dari alumunium dengan model setengah bola untuk polukariti dan beberapa cetakan lainnya, seperti cetakan untuk membuat perabot khas Buton lainnya, tawa-tawa, tala, tala-tala, Ndei-ndei, padamara, toba, baana katuko, matana katuko, kapera, kabitingia bahkan cetakan baling-baling kapal yang masih tergantung di dinding tembok bercat putih itu.

Setelah melalui tahapan mencetak, selanjutnya menghaluskannya dengan menggunakan mesin gurinda listrik. Proses pengerjaan cukup singkat. Jika membuat polukariti bisa 20 buah tercipta dalam seminggu dengan alat modern. Satu polukariti yang di hadapannya sudah selesai diamplas. Tampak terlihat masih belum begitu halus karena masih ada proses pengamplasan yang lebih halus. 

Dia menceritakan, dahulu proses pengerjaan polukariti ini memakan waktu cukup lama. Karena masih menggunakan cara tradsional. Satu buah polukariti dalam seminggu hanya tiga sampai empat saja yang jadi. Saat itu, cetakan terbuat dari almunium belum diketahui. Orang tua dulu menggunakan lilin dari sangkar lebah sebagai cetakan yang kini sulit ditemukan lagi.

Logam kuningan yang dimasak menggunakan wadah seperti ember berbahan baja. Disimpan di tengah bara api ditiup melalui pipa besi yang di tempatkan di bawah bara api. Pompanya terbuat dari batang pohon pinang, dilubangi, dimana sisi dalamnya berbentuk silinder. Katup silinder terbuat dari kaleng berbentuk tabung dibungkus kain dimana bagian tengahnya ditancapkan kayu sebagai pegangan.

Lalu, pegangan kayu itu dikayuh turun naik menggunakan tangan manusia. Biasanya ada dua buah pompa yang berdiameter kurang lebih 40 centimeter. Dari situ udara dipompa dan dialirkan ke pipa secara terus menerus hingga meleburkan kuningan, pekrjaan itu memakan waktu satu hari. Sementara untuk menghaluskan sisi luar maupun dalam polukariti dibutuhkan alat yang disebut kalaria yang terbuat dari kayu. 

"Itu cara lama. Untuk meleburkan batangan kuningan sekarang menggunakan kompor gas berbahan bakar minyak tanah. Waktunya paling hanya tiga jam untuk meleburkan 20 kilogram kuningan," jelasnya.

Baari mengaku sedang mengerjakan polikariti yang di order dari Maluku Ambon dan Ternate, masing-masing 20 buah polukariti. Sementara di dalam rumahnya dua buah tala sudah selesai dibuat dan tinggal menunggu orang yang memesan mengambilnya. Dia juga menyebut semua kuningan yang terdapat di kedua ujung tongkat perangkat masjid Agung Keraton Buton adalah hasil dari buah tangannya.

Dahulu di mata masyarakat Buton, wilayah Lamangga adalah pabrik pembuatan perabot rumah tangga dari bahan baku kuningan. Di wilayah itu sebagian besar warganya di fokuskan sebagai pengrajin kuningan.

Bahkan semua peralatan dapur dan perabot rumah tangga bangsawaan kerajaan dan kesultanan Buton yang terbuat dari kuningan diproduksi di wilayah itu. Kini, zaman telah berubah drastis. Banyak dari mereka beralih profesi hingga generasi penerus spesialis pembuat perabot dari kuningan secara turun temurum itu semakin sedikit.   

Sejak 30 tahun lalu, Baari Ompu sebenarnya mendambakan ada apresiasi dari pemerintah, berupa modal sehingga lebih dapat mengembangkan kreatifitasnya dalam menjaga agar khazana membuat kerajinan khas Buton yang telah turun temurun digelutinya itu bisa berkembang dengan baik. Namun kekurangan modal menjadi salah satu hambatannya. 

Ia mengungkapkan, sebelumnya pihak Pemkot Baubau berjanji akan memberikan bantuan modal Rp 50 juta, "Namun itu hanya buaian," ucapnya.  Dana itu turun dan sampai ditangan Baari sebanyak lima juta saja. Ia pun enggan menerima uang itu."Saya dijanji uang 50 juta, tapi yang datang 5 juta, jadi saya menolak saja," ungkapnya.

Saat ini, bahan baku berupa kuningan beberapa kilogram disuplay dari Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton karena masih terbilang murah dan sisanya didapatkan dipasar Kota Baubau. Sekilo kuningan seharga 50 ribu. Untuk membentuk sebuah polukariti dibutuhkan 4 kilogram. Jika ingin membuat 20 polukariti ia harus mengeluarkan uang sebesar 4 juta. Satu polukariti dihargai 280 ribu. Pengasilan membuat berbagai jenis kuningan itulah yang dapat menopang dan menghidupi ekonomi istri dan kesembilan anaknya.

Semestinya pemerintah melihat dari para pengrajin kuningan itu bukan hanya dinilai dari sisi ekonominya, mereka adalah pelestari khazana budaya Buton masa lampau. Pantaslah diberikan apresisasi sehingga polukariti dan berbagai sejenis perabot rumah tangga di zaman kerajaan dan kesultanan Buton  tetap meniupkan sejarah didalam kehidupan masyarakat Buton. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar